Sekarkijang-Jember. Pidato Gus Fawait pada malam refleksi peringatan Hari Santri, 21 Oktober 2024, yang diunggah di akun resmi Tiktok Gus Fawait berbuntut Panjang. Gus Fawait dilaporkan ke Bawaslu karena statement PKI. Sebagaimana diketahui dalam pidato tersebut, Gus Fawait memaparkan peran santri dan ulama dalam merebut kemerdekaan. Gus Fawait, juga meminta doa dan dukungan agar bisa memimpin Kabupaten Jember.
Dalam kesempatan ini Sekarkijang..com mencoba mewawancarai Dr. Aries Harianto, S.H.,M.H.,C.Med. Beliau merupakan Pakar Hukum Unej, Ketua Dewan Pakar ICMI, Pengajar Logika dan Argumentasi Hukum, dan kolumnis media cetak / online serta Mediator berlisensi MA.
Di sela mengisi acara sebagai narasumber di Mirah Hotel Banyuwangi berikut ini obrolan dengan beliau
Reporter : Gus Fawait dilaporkan ke Bawaslu karena statemen PKI. Bagaimana tangggapan Bapak?
Dr. Aries Harianto : Menarik sebagai bahan diskusi dalam bincang demokrasi. Pilkada itu manifestasi demokrasi. Lapor melapor merupakan refleksi kesadaran hukum masyarakat sebagai wujud konsistensi berproses secara normatif. Positif dan patut diapresiasi. Menghadapi problem apapun, masyarakat tidak main hakim sendiri. Masyarakat datang ke Bawaslu atau aparat penegak hukum karena otoritas fungsional yang dimiliki. Melapor karena merasa dirugikan adalah hak konstitusional warga negara. Dilindungi hukum.
Reporter : Budaya lapor melapor meskipun dalam koridor hukum, pada kasus ini apakah sejalan dengan konsep demokrasi?
Dr. Aries Harianto : Lapor melapor itu halal. Diatur dan dibenarkan oleh hukum. Namun kontra produktif dengan konsep demokrasi. Semakin banyak laporan justru membuka ruang intervensi otoritas untuk mengendalikan kebebasan berpendapat. Siapapun boleh memberikan pernyataan selama hal tersebut bukan untuk kejahatan. Kapanpun orang boleh berpendapat sepanjang atas dasar argumen, bukan sentimen. Tidak ada sakit hati, mudah tersinggung dan gampang terbawa perasaan. Demokrasi itu persemaian logika atas dasar fakta. Argumen dibalas dengan argumen. Aqly dibalas dengan akal budi bukan imaginasi atau halusinasi.
Reporter : Dalam Pidatonya Gus fawait menceritakan serangan yang dialamatkan kepada dirinya bersifat pribadi, dengan menebar Hoak, fitnah, dan berita berita keji. Dan Gus Fawait mengatakan “Saya kok kayaknya ingat seperti Gerakan 30 S PKI yang ingin menghabisi para ulama, yang ingin menghabisi para kiai, yang ingin menghabisi para santri di Republik ini” kata Gus Fawait. Lantas apakah ada yang salah dengan pernyataan Gus Fawait pada saat berpidato dihadapan para pendukungnya
Dr. Aries Harianto : Dalam perspektif akademik, saya menangkap esensi pernyataan Gus Fawait merupakan penegasan historis yang menyimpan pemahaman bahwa siapapun yang menghalangi santri untuk menjadi pemimpin (memimpin Jember) seolah sama halnya dengan metode yang dilakukan PKI. Bicara PKI itu memiliki beragam dimensi. PKI sebagai organisasi terlarang, PKI dari sisi afiliasi ideologi Marx, PKI dalam arti konsep dan metode aksi, PKI sebagai kejahatan terorganisir, atau Neo PKI. PKI sebagai organisasi telah menjadi fakta sejarah. Dilarang muncul kembali. Namun ajaran Marx sebagai sumber referensi PKI, tak satupun tangan bisa menghalangi. Setiap saat orang bisa mempelajari dengan mengadaptasikan pada perkembangan peradaban. Sementara metode yang digunakan PKI siapapun bisa meng-update dalam konteks kekinian karena metode itu bersifat halus, sopan dan tajam.
Reporter : Text dan Konteks dalam sebuah kalimat itu bagaikan 2 sisi mata uang, apalagi itu dilakukan dalam sebuah pidato resmi kan tidak bisa dipisahkan. Bagaimana hubungan tersebut dalam pidato yang disampaikan Gus Fawait?
Dr. Aries Harianto : Narasi tentang PKI itu teks. Ucapan Gus Fawait adalah proposisi. Menguji maksud tersembunyi atas sebuah pernyataan dalam bentuk proposisi tidak bisa dilepaskan dari konteks. Dengan kata lain, pernyataan Gus Fawait itu dalam konteks persuasif agar tidak terjadi repetisi terhadap metode yang dilakukan PKI. Dengan kata lain, justru Gus Fawait menanamkan pesan agar tidak terjadi pengulangan metode yang mendistorsi demokrasi. Memangkas aspirasi dan mengubur nilai-nilai. Jadi sekali lagi salah besar dan sesat nalar jika Gus Fawait dinilai mengusung PKI sebagai stigma masa lalu yang dikehendaki untuk kembali terjadi
Reporter : Sebenarnya dari fakta tersebut, pesan apa yang ingin ditonjolkan oleh Gus Fawait kepada Masyarakat luas?
Dr. Aries Harianto : Dengan pernyataannya, Gus Fawait justru melakukan edukasi agar masyarakat Jember tidak kecolongan dengan metode yang dulu pernah terjadi. Jadi memaknai narasi sebagai pernyataan harus dilakukan secara metodis. Dengan pikiran jernih, ditopang akal sehat, akurasi logika dan bersih dari pretensi yang menegasikan objektifitas. Toh tidak ada nama yang dituju atas pernyataan itu. Tidak ada subjek yang disebut. Saya kira Bawaslu akan menjunjung asas kecermatan dan kehati-hatian dengan melakukan keharusan normatif berbasis akademik sebagai etis guna merespon laporan apapun dengan tetap menaruh rasa hormat terhadap pelapor sebagai entitas yang memiliki kesadaran hukum dan patut diacungi jempol.
Siapapun boleh melakukan re-framing terhadap suatu pernyataan. Tapi upaya itu tentu lekat dengan kaidah dan konteks. Di sinilah dibutuhkan kecerdasan media. Publik boleh responsif, tapi rasional patut menjadi kontrol agar emosional tidak menjadi bola liar. Bawaslu harus welcome terhadap semua laporan, namun tetap arif bijak untuk menyelesaikan. Di sinilah indahnya demokrasi. (Wahyu)