
SEKARKIJANG.NASIONAL – TikTok merupakan aplikasi media sosial yang memungkinkan penggunanya dapat membuat atau menikmati video dengan durasi pendek. TikTok pertama kali dirilis pada Bulan September 2016 dan dikembangkan oleh Beijing ByteDance. ByteDance, perusahaan induk TikTok didirikan oleh pengusaha asal Tiongkok bernama Zhang Yiming. Namun, saat ini sekitar 60 persen dari saham perusahaan tersebut telah dimiliki oleh investor institusional global seperti Carlylr Group, General Atlantic, dan Susquehanna International Group.
Di Indonesia, aplikasi TikTok pernah akan diblokir pada tanggal 3 Juli 2018. Alasannya, video-video unggahan yang ada di TikTok memuat konten pornografi, asusila, dan penistaan agama. Akan tetapi, usaha pemblokiran tersebut dicabut pada tanggal 10 Juli 2018 setelah TikTok berkomitmen untuk menghapus konten yang tidak pantas dan mendirikan kantor lokal untuk memantau dan mensterilkan konten tersebut.
Saat ini, TikTok menjadi salah satu media sosial dengan pengguna paling banyak di Indonesia. Statista.com pernah merilis data jumlah pengguna aplikasi TikTok dari berbagai negara. Berdasarkan publikasi laporan Statista.com berjudul ‘Countries with the largest TikTok audience as of July 2024’, Indonesia menempati peringkat pertama dengan pengguna TikTok terbesar sejauh ini dengan hampir 157,6 juta pengguna. Disusul Amerika Serikat dengan pengguna sekitar 120,5 juta pada Bulan Juli 2024.
TikTok memiliki sistem algoritma canggih yang menyebabkan pengguna mengalami kecanduan. Algoritma dalam media sosial merupakan sebuah sistem dan perhitungan yang menentukan urutan konten yang akan dimunculkan di beranda pengguna berdasarkan relevansi konten dengan pengguna. Konten yang dimunculkan pada laman for you page pengguna berdasarkan keterlibatan pengguna pada konten-konten sebelumnya, keterlibatan berkelanjutan terhadap video yang dilihat melalui waktu menonton, aktivitas menyukai, berkomentar, dan membagikan video. Hal tersebut dimanifestasikan dalam laman for you page dengan melibatkan beberapa tagar seperti #fyp dan #foryou. Sebagai salah satu contoh, jika pengguna menonton video tentang tutorial make up maka TikTok akan memberikan rekomendasi video serupa di beranda penggunanya secara bergulir.
Dilansir dari laman the oxford blue, pengalaman mengulir halaman TikTok secara terus menerus dapat memberikan dampak buruk bagi pengguna. Video pendek TikTok yang terintegrasi dengan minat pengguna dapat memberikan efek dopamin. TikTok akan memberikan video yang diberikan berdasarkan minat pengguna secara acak. Sebagai contoh, ketika pengguna menyukai konten lucu maka TikTok akan memberikan video acak dengan tema humor. Pada scroll pertama hingga ketiga, mungkin TikTok akan memberikan konten lucu. Di video keempat mungkin tidak selucu sebelumnya, begitupun dengan hasil scrolling selanjutnya. Hal tersebut akan memancing pengguna untuk tetap scrolling dengan harapan ada video lebih lucu di hasil scrolling selanjutnya. Sehingga, pencarian dengan kepuasan terputus-putus ini akan membuat pengguna masuk ke dalam perilaku yang adiktif.
Dilansir pada laman renucounselling.ca, penggunaan TikTok yang sering dapat memperpendek rentang perhatian pengguna. Desain aplikasi TikTok memungkinkan pengguna menikmati video pendek yang berkelanjutan dapat membuat pengguna kesulitan fokus pada tugas yang membutuhkan perhatian lebih lama. TikTok memberi pengguna fitur like, komentar, atau lebih banyak tayangan yang memicu pelepasan dopamin lebih cepat. Hal tersebut akan mengkondisikan otak pengguna untuk mencari kepuasan yang lebih cepat. Seiring berjalannya waktu, pengguna mungkin merasa sulit untuk berkonsentrasi pada tugas yang membutuhkan fokus lebih banyak.
Selain itu, pada penelitian Qian Jiang dan Liangying Ma dari Universitas Peking yang dipublish tahun 2024 menunjukkan bahwa penggunaan TikTok secara terus menerus dapat mengurangi kemampuan analitis pengguna. Pada penelitian tersebut dirancang berdasarkan teori dual proses. Teori tersebut membagi cara otak manusia memproses tugas kognitif manusia menjadi dua tipe, yaitu tipe 1 intuitif dan tipe 2 analitis. Tipe intuitif dicirikan dengan pengambilan keputusan yang cepat tanpa memerlukan proses analisa yang mendalam dan cenderung bergantung pada intuisi dan perasaan. Sedangkan tipe analitis memerlukan pemikiran yang mendalam dalam mengambil sebuah keputusan dan bergantung pada analisis penalaran rasional dan pengendalian diri. Penelitian tersebut membagi beberapa orang menjadi dua kelompok. Kelompok pertama diarahkan untuk menonton video pendek di TikTok selama 30 menit yang direkomendasikan oleh aplikasi. Sedangkan kelompok lainnya diarahkan untuk membaca e-book selama 30 menit di aplikasi We chat reading. Selanjutnya, kecenderungan kemampuan kognisi peserta diukur melalui tes refleksi kognitis (CRT). Berdasarkan hasil pengamatan yang mereka lakukan menunjukkan bahwa menonton video pendek untuk waktu yang relatif lama menyebabkan berkurangnya kemampuan analitis dibandingkan membaca buku elektronik.

Mengapa hal tersebut bisa terjadi?
Scrolling konten TikTok secara terus menerus memungkinkan seseorang mendapatkan aliran informasi yang intensif dan cepat. Ditambah, konten yang tersaji di TikTok direkomendasikan berdasarkan preferensi pengguna memungkinkan pengguna menerima informasi hanya yang sesuai dengan minatnya. Bahkan akan cenderung mempercayai informasi jika informasi tersebut dimunculkan berkali-kali pada beranda pengguna. Hal tersebut akan memicu seseorang membuat penilaian dan keputusan dengan cepat dan intuitif daripada menggunakan proses berpikir yang lambat dan analitis. Selain itu, mudahnya akses informasi yang menghibur dan menjelajahi banyak konten mendorong pengguna untuk mengadopsi strategi kognitif yang efisien dan hemat sumber daya tanpa menginvestasikan lebih banyak usaha-usaha kognitif dalam pengambilan, evaluasi, dan umpan balik. Sehingga, jika hal tersebut tidak dapat disikapi dengan bijak maka konsumsi berita bohong dan informasi palsu yang dapat menyesatkan pengguna bisa saja mudah terjadi. (LENI)